Senin, 12 Mei 2008

Sejarah liga Champion





Perlawanan yang Menghasilkan Komersialisme

Bermula hanya sekadar bereaksi atas sikap pongah Klub asal Inggris, Wolverhampton Wanders, yang mengklaim dirinya sebagai juara dunia klub 1954, Gabriel Harnot seorang jurnalis terkemuka asal Prancis, tak menyangka usahanya itu kemudian menjadi terkenal.

Bahkan Harnot sendiri sama sekali tak menduga bila keinginannya untuk memukul arogansi ala Inggris di era 50’an itu akan berujung pada komersialisme sepakbola di akhir abad 20.

Wolverhampton, sang juara liga Inggris, setelah mengalahkan juara Hongaria, Honved, dengan skor 3-2, memproklamasikan dirinya sebagai juara dunia klub. Setahun kemudian pada musim 1955/56 Harnot mengotaki sebuah turnamen besar bernama Piala Champion. Sebulan pasca kongres UEFA di Wina, 2 Maret 1955, kompetisi yang diikuti juara liga tiap masing-masing negara peserta ini resmi diluncurkan. Pada awalnya kejuaraan ini tidak terlalu memperoleh tanggapan dari UEFA sebagai konstituen Sepakbola tertinggi di Eropa, karena UEFA sendiri kala itu lebih sibuk untuk mempersiapkan kejuaraan antar negara.

Peserta antar klub perdana pertama kali tidak berdasarkan juara liga. Tapi undangan agar bisa menarik banyak pendukung. Perwakilan dari 16 klub yang bertemu diundang pada 2 dan 3 April 1955, semuanya sepakat dengan usul L’Equipe, harian olahraga tempat Gabriel Harnot bernaung.

Mereka adalah Servette (Swiss), Sporting Lisbon (Portugal), Rapid Wina (Austria), AC Milan (Italia), Rot-Weiss Essen (jerman Barat), IF Djurgaardens (Swedia), Voros Loboga (hongaria), AGF Aarhus (Denmark), Real Madrid (Spanyol), Parizan Belgarde (Yugoslawakia), PSV Eindhoven (belanda), FC Saarbrucken, Hibernian (Scotlandia), Gwardiana Warsawa (Polandia), Anderlecht (Belgia), dan Stade Reims (Prancis).

Turnamen yang menggellar sistem tandang kandang ini diakui sebagai cikal bakal Liga Champion, Real Madrid keluar sebagai juara edisi pertama . Final yangberlangsung di Stadion Parc des Princes, Paris 13 Juni 1956, raksasa Spanyol ini mengalahkan juara Prancis, Stade de Reims, dengan skor 4-3.

Madrid yang kala itu diperkuat Alfredo De Stefano, benar-benar menakjubkan. Sampai musim 1959/1960, Piala Champion terus dibawa ke negeri Spanyol.

Pada 1958, Piala champion sempat dilimpahi cerita pilu. Manchester United, yang pada masa itu terkenal dengan Sir Matt Busby’s Babes, secara tragis mengalami kecelakaan pesawat terbang di Munchen.

Gereget

Gereget kompetisi kembali menghangat pada 1960/61 setelah jagoan Portugal, Benfica, muncul mengkudeta dominasi EL Real. Bermodal simutiara hitam Eusibio, Benfica berhasil mengupas cengkraman kuku Matador Spanyol lewat kemenangan 3-2 pada partai final yang digelar di Stadion Wankdorf, Swiss.

Benfica kembali menang atas Madrid pada tahunberikutnya. Madrid yang diperkuat Ferenc Puskas, ditelan dengan skor 5-3. namun, dominasi Portugal hanya berlangsung dua tahun mulai 1962/63, giliran italia mendominasi lewat dua klub tenarnya, AC Milan dan Inter Milan.

Pada musim 1965/66, Madrid dapat kembali menjadi juara dan tahun berikutnya muncula klub dari Britania Raya, Galsgow Celtic dan Red Devil’s, Manchester United menjadi penguasa.

Tapi, angin terus berganti di darata Eropa. Pada awal era 70’an klub asal Belanda Feyernord, memenangi trofi Eropa pertama kalinya. Namun, justru Ajax dan Bayern Munchen yang saling berbagi direntang waktu sepuluhtahun berikutnya. Melalui mahestro Belanda Johan Cruijff dan bintang elegan Jerman Franz Beckenbauer, kedua klub itu masing-masing meraih juara tiga kali.

Namun, semua perjalanan waktu itu akhirnya mendekatkan kita kepada nuansa Inggris yang kental dengan sosok Liverpool dan Nothingham Forest, antara musim 1976/77 sampai musim 1984/85, klub Inggris muncul sembilan kali dari sebelas kali partai final.

Liverpool, Notingham Forest dan Aston Villa bahakan sanggup secara bergantian membawa Piala Champion bergantian ke tanah Pangeran Charles sebanyak tujuh kali.

Kejayaan negeri penguasa lautan dunia itu surut pada 1985 setelah terjadinya sebuah tragedi yang memilukan. Pada final Liga Champion musim 1984/1985, sebanyak 39 tifosi Juventus tewas akibat kebrutalan pendukung Liverpool. Bertempat di Stadion Heysel-Belgia, gerombolan holigans menyerang pendukung Bianconieri sebelum pertandingan digelar.

Dunia menangis dan mengutuk Inggris. Setelah jagoan Juventus asal prancis Michael Platini, mencetak gol tunggal melalui titik pinnalti. Sebuah vonis dasyatpun turun. Klub Inggris harus diasingkan dari kancah Eropa. Liiverpool dan sepakbola Inggris secara keseluruhan jatuh hanya dalam satu malam saja.

Transisi

Mendekati akhir era 80’an, iklim sepakbola Eropa berubah sejalan mengakarnya aspek komersial di dunia olahraga. Klub-klub besar mengharapkan imbalan yang lebih besar sebagai ganjaran keikutsertaan mereka di turnamen dan runtuhnya komunisme eropa timur.

Ini artinya makin banyak tim berkualitas tinggi tertarik unutk menceburkan diri pada komunitas sepakbola Eropa. Negara-negara kay di Eropa menginginkan jaminan konsisitennya perhatian media dan pertarungan sepakbola dalam level tinggi unutk klub-klubnya.

Format dari turnamen ini berubah sejalan dengan dibolehkannya tim-tim besar berlaga meski bukan nomor satu dinegaranya. Sejak musim 1991/92, peserta membengkak menjadi 32 klub. Pada era ini dominasi dari sebuah klub atau negara hampir mustahil. Makin besarnya kepentingan siaran sebuah televisi sebagai dampak perkembangan ekonomi juga turut mempengaruhi.

Kendati begitu, meski sudah berusaha melibatkan banyak klub, ternyata isu pembentukan Liga super Eropa muncul dari sejumlah klub besar. Isu yang dominan kali ini bukan hanya keterliban seluruh Eropa tapi juga soal fulus.

Pada Agustus 1998, sebvuah ide tentang pembentukan Liga Super Eropa muncul dan mengagetkan badan tertinggi sepakbola Eropa, UEFA. Liga tang semula direncanakan bakal jadi kenyataan pada 2000 ini dikuti oleh 32 klub dengan hadiah sebesar 57,3 juta Dollar AS (sekitar Rp 538 Miliar) unutk juaranya !

Formatnya akan membagai seluruh peserta kedalam dua buah grup, alias satu pool akan ditempati 16 klub. Empat timteratas ditiap grup meraih tiket perempatfinal. Penyisihan selanjutnya dilakukan lewat sisitem gugur dengan pertandingan kandang-tandang.

Hitung, punya hitung, dengan berpartisipasi saja, klub-klub yang nantinya berlaga di Liga Super ini sedikitnya meraih 22,7 juta dollar As (sekitar Rp 213 miliar). Jumlah ini jauh lebih besar dari apa yang diterima Real madrid saat menjuarai piala Champion musim 1997/98.

Ke-16 tim utama yang pasti ambil bagian tiap tahunnya ini adalah: Inter Milan, AC Milan, Juventus (Italia); Manchester United, Arsenal, Liverpool (Inggris); Bayern Munchen, Borussia Dortmund (Jerman); Paris SG, Marseille (prancis); Real Madrid, Barcelona (Spanyol); Ajax (Belanda); Panathinaicos (Yunani); Benfica (Portugal); dan Anderlecht (Belgia).

Dengan lahirnya liga super Eropa, 16 klub itu akan absen dari kompetisi Domestik. Juara-juara liga domestik ambil bagian di lLiga Super Eropa sebagai pengisi 16 tempat yang tersisa. Hal ini jelas ditentang UEFA, yang menganggap Liga Super atau liga Eropa bersatu sebagai bentuk pemberontakan.

Ide liga pemberontakan ini dirancang oleh Rodolfo Hecht, seorang mantan direktur televisi satelit Telepiu. Kode nama Operation Gandalf disandangkan sejumlah stasiun televisi unutk ide luar biasa ini.

Komisi penyiaran Eropa bahkan sudah memperkirakan sekitar 1,1 miliar dollar As (Rp 10,3 triliun) akan masuk pundi-pundi mereka tiap musimnya. Sebuah geraka yang akhirnya memaksa UEFA untuk bekompromi dengan para tuan besar pemilik klub elite Eropa.

Pada musim 1999/00, badan tertinggi sepakbola Eropa itu mengubah format Liga Champion, menjadi lebih besar dengan diikuti 64 klub dan diberlakukannya sistem penyisihan awal serta dua fase penyisihan grup.

Tapi, jumlah pertandingan yang bertambahternyata juga tidak membahagiakan. Dari mulut insan-nsan beken sepakbola Eropa keluar pernyataan bahwa prilaku itu akan menurunkan kualitas tiap pertandingan dan membuat mereka yang ngotot dengan Liga Super Eropa menjadi sadar.

Kaisar jerman, Franz Beckenbauer, misalnya. Orang penting Bayern Munchen ini semula bersikeras unutk menceburkan diri pada rencana pembentukan Liga Super Eropa-dengan atau restu UEFA. Akhirnya ia menyadari keleman konsep Liga Super secara Global.

Dulu, Beckenbauer merasa bahwa hak klub besar banyak dikebiri karena berkompetisi terlalu pendek dan harus menghadapi klub kecil dari negara non enam liga utama Eropa. Justru kini ia berdalih bahwa liga Champion telah ,menjelma menjadi liga super yang melelahkan.

Beckenbauer menginginkan sebuah Liga Champion yang lebih simpel dangan satu fase penyisihan Grup saja. Format dua penyisihan grup yang dipakai hingga musim 2002/03 hanya membuat lelah klub-klub yang terlibat didalamnya.

”sesudah babak penyisihan grup pertama, sebaiknya langsung masuk ke pertandingan lewat sistem gugur dengan delapan tahapan” tambahnya.

Ia mengerti bahwa tawaranya ini berdampak pada jumlah uang yang diterima klub dari hak siar televisi. ”Tapi kita memang tidak mungkin meraih semuanya dan bertanding terlalu banyak membuat resiko cedera para pemain bertambah, sehingga kualitas pertandingan menurun,” tuturnya.

Bek United, gary neville pun pernah mengeluhkan format dengan dua fase penyisihan grup ini. Buat klub Inggris yang sudah tersita di kompetisi domestik, banyak pertandingan sangat menyiksa tenaga dan konsentrasi pemain. Ini belum termasuk apabila sang pemain membela tim nasionalnya dalam laga uji coba atau kejuaraan resmi macam kulaifikasi piala eropa, kualifikasi Piala Dunia serta Piala Konfederasi, kejuaraan baru yang diluncurkan FIFA.

Ternyata, para penontonpun ikut terkena getah. Karena mereka mewrasa kewalahan menonton pertandingan yang berjibun banyaknya. Buntutnya, minat terbukti menurun. Tempat duduk duduk kerap hanya terisi kurang dari setengah kapasitas setiap adanya pertarungan Liga Champion.

Setali tiga uang , UEFA pun merasa berkewajiban unutk menampung aspirasi dari para presiden klub, pemain serta para pecandu bola Eropa dalam bentuk aplikasi nyata. Akhirnya melalui suatu keputusan alot akhirnya UEFA mengurangi jumlah pertandingan dengan mengubah format Liga Champion dari awalnya dengan dua fase penyisihan grup menjadi satu fase penyisihan grup. Dua tim teratas pada fase grup langsung bertemu dalam suatu sisitem gugur dengan format tandang-kandang. Sistem baru ini pun diturunkan dalam kompetisi Liga Champion edisi 2003/04. kualitas pertandingan pun meningkat, tingkat cedera pemain pun menurun, sehingga cerita Zinedine Zidane pada Piala Dunia 2002 saat ia harus istirahat di dua pertandingan awal disaat pergelaran empat tahunan ini berlangsung yang berimbas buruknya performa tim ayam jantan, karena padatnya jadwal di kompetisi Eropa dan domestik rasanya sulit terjadi kembali.

Kompetisi musim 2003/04 sepertinya juga tidak akan pernah dilupakan disaat sisitem baru mulai diterapkan, kejutan muncul saat dua klub dari tradisi sepakbola yang tidak terlalu kuat di kancah Liga Champion bertemu yaitu FC Porto (Portugal) dan AS Monaco (Prancis). Klub prancis selepas era diawal 90’an saat marseille hadir sebagai juara memang seakan tidak lagi diperhitungkan jangnkan unutk masuk babak final, lolos dari putaran grup saja sudah

merupakan kebanggan bagi negara asal pemain terbaik dunia tiga kali, Zinedine zidane. Sedangkan Porto tidak jauh berbeda, walau musim sebelumnya berhasil menjadi juara piala UEFA Cup rasanya hadirnya mereka dipartai puncak bukanlah sesuai prediksi orang banyak apalagi langkahnya menuju final terasa berat setelah mengalahkan tim-tim tradisi Liga Champion sepereti Manchester United dan Deportivo La Coruna. Di final FC Porto berhasil meraih juaranya yang kedua kalinya setelah mengalahkan AS Monaco 3-0.

Final seru juga hadir ditahun berikutnya saat Liverpool berhadapan dengan tim italia AC Milan. Milan yang telah unggul 3-0 dibabak pertama kena getah aksi comeback menawan Steven Gerrard cs, the red’s berhasil mengejar ketertinggalannya dan menyamakan kedudukan dan memaksa Milan harus mealalui babak adu pinalti. Liverpool berhasil menang dengan skor 4-2 dalam babak hidup mati tersebut.

Badge of Honour

UEFA paham bahwa meraih mahkota Champion bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah, apalagijika sebuah klub sampai mampu meraihnya berkali-kali menjadi juara. Karena itu, selain menyediakan hadiah duit, UEFA merasa perlu memberikan penghormatan pada sebuah klub atas kerja keras dan kebesarannya mengharumkan ajang Liga Champion.

Penghormatan itu diaplikasikan dalam bentuk UEFA badge of Honour. Badge bergambar mahkota Champion dengan bintang yang melambangkan jumlah koleksi juara. Hal ini mulai diperkenalkan mulai musim 2000/01.

Pada awalnya hanya ada empat klub yang berhak memakainya yaitu AC Milan (italia), real Madrid (Spanyol0, Bayern Munchen (Jerman), dan Ajax (Belanda). Untuk memperoleh penghargaan ini terbilang sulit syaratnya klub harus minimal tiga kali juara secara berurutan atau lima kali secara total. Karena itu diawal dimulainya penghargaan ini hanya diperkenankan empat klub yang kostumnya berhias lambang ini dan wajib dipakai pada setiap pertandingan. Di tahun 2005 Liverpool akhirnya melengkapi, the red’s menjadi klub kelima yang berhak memakai penghargaan khusus UEFA ini di lengan kiri kostumnya, setelah mereka memperoleh gelar kelimanya usai mengalahkan AC Milan dalam sebuah drama adu pinalti di stadion Atturk, Istambul.



Tidak ada komentar: